Secangkir Kopi, Sepotong Cerita: Saat Hati dan Rasa Bertemu
Kopi bukan sekadar minuman. Bagi sebagian orang, kopi adalah pelarian. Bagi yang lain, kopi adalah teman setia dalam senyap. Buatku, kopi adalah jeda. Jeda dari riuhnya dunia, dari tumpukan pekerjaan, dan dari pikiran yang tak pernah diam.
Pertama kali aku jatuh cinta dengan kopi bukan karena rasanya. Justru karena aromanya. Ada sesuatu yang magis dari wangi biji kopi yang baru digiling. Seolah mengundang untuk berhenti sejenak dan menghirup hidup lebih dalam.
Sore ini, hujan turun perlahan. Aku duduk di pojok kafe favoritku, ditemani segelas kopi susu hangat yang diberi nama “Manis yang Tak Tertukar”. Namanya saja sudah membuatku tersenyum geli, sebenernya nama ini hanya ilusi ku saja. Kebenarannya hanya secangkir cappuccino hangat yang dihias cantik. Tapi ketika tegukan pertama menyentuh lidahku, aku tahu, rasa ini akan tertinggal lama.
Setiap orang punya cerita, dan setiap kopi punya filosofi. Filosofi kopi favoritku adalah kesederhanaan. Bahwa hidup tak harus serumit latte art yang sempurna. Kadang, yang kita butuhkan hanya hitam, pahit, dan hangat. Karena dari situ kita belajar bahwa tidak semua yang pahit harus dihindari. Beberapa justru menyadarkan kita tentang arti syukur dan ketenangan.
Kopi juga mengajarkanku tentang keseimbangan. Ada kadar yang tepat antara air dan bubuk kopi. Terlalu banyak air, rasanya hambar. Terlalu pekat, bisa bikin jantung berdebar. Hidup pun begitu. Harus tahu kapan harus menambah semangat, dan kapan harus meredam ego.
Uniknya, aku punya kebiasaan kecil saat minum kopi: aku selalu memotret cangkirnya. Bukan karena ingin pamer, tapi karena setiap bentuk busa, setiap ukiran di gelas, dan setiap sudut meja selalu punya cerita. Kadang ada bekas lipstik di pinggir gelas yang membuatku sadar bahwa aku juga sedang belajar mencintai diriku sendiri—dengan segala rasa dan warna yang kumiliki.
Aku juga suka mencoba kopi di tempat-tempat unik. Seperti kopi gula aren dengan taburan kelopak mawar di rooftop kafe kecil di sudut kota, atau kopi jahe rempah yang disajikan dengan alunan musik gamelan lembut. Setiap kopi punya nuansa, dan setiap tempat punya cerita. Minum kopi jadi seperti traveling kecil untuk jiwa—meski raga hanya diam.
Dan yang paling aku suka? Menyeduh kopi sendiri di rumah. Ritual kecil ini seperti meditasi. Dari memilih biji kopi, menggilingnya perlahan, menyeduh dengan air panas, lalu duduk diam memandangi uap yang menari-nari di atas gelas. Semua proses itu membuatku merasa hidup. Benar-benar hidup.
Kini, setiap kali aku minum kopi, aku tahu bahwa aku sedang memberi waktu untuk diriku sendiri. Bukan sekadar menikmati rasa, tapi juga menyeduh harapan dan ketenangan. Karena pada akhirnya, kopi bukan hanya tentang rasa di lidah. Tapi tentang rasa di hati.
Dan hei, bukankah hidup memang seharusnya dinikmati seperti secangkir kopi? Penuh rasa, kadang pahit, kadang manis, tapi selalu hangat di hati.
Komentar
Posting Komentar