Satu Dekade Bersama Abu
Hari ini, aku ingin menuliskan sesuatu yang begitu berarti buatku. Tentang sosok kecil berbulu yang sudah menjadi bagian dari hidupku dan keluargaku selama hampir satu dekade. Namanya Abu. Seekor kucing abu-putih yang bukan sekadar hewan peliharaan—dia adalah teman, sahabat, dan keluarga.
Abu hadir di hidup kami karena sebuah takdir indah. Saat itu, adikku, Aqra, menemukan beberapa anak kucing yang dibuang orang di pinggir jalan. Di antara mereka semua, hanya satu yang langsung nurut dan diam di pelukan adikku. Dialah Abu. Sejak saat itu, kami membawanya pulang dan sejak hari pertama, Abu seperti tahu bahwa rumah kami adalah rumahnya.
Aku dan keluargaku membesarkan Abu bersama-sama. Kami menyayanginya sepenuh hati, dan dia pun tumbuh dalam lingkungan yang penuh cinta. Terutama papahku, yang sangat menyayangi Abu. Abu sering duduk di dekat papah saat beliau bersantai di rumah, dan mereka seperti punya bahasa sendiri untuk saling memahami. Hari ini, saat Abu dimakamkan, aku melihat sendiri bagaimana papahku yang terlihat begitu tegar, ternyata memendam rasa kehilangan yang begitu dalam. Mungkin, dari semua kami, beliaulah yang paling merasakan kepergian Abu dengan cara yang sunyi dan diam.
Aku sendiri sangat dekat dengan Abu. Dari kecil, dia sudah menunjukkan sikap yang berbeda. Pintar, peka, dan begitu penuh kasih. Abu tahu kapan aku sedang tidak baik-baik saja. Di saat aku menangis diam-diam, dia akan datang dan duduk di dekatku, menatapku dengan mata bulatnya yang besar dan teduh. Seolah-olah dia ingin bilang, "Aku di sini, kamu nggak sendiri."
Bertahun-tahun berlalu, Abu tumbuh bersama kami. Dia bukan hanya kucing, dia bagian dari ritme hidup kami. Dia tahu kapan waktu tidur, kapan waktu makan, dan yang paling unik, dia tahu kapan aku sedang lembur mengerjakan tugas. Saat aku begadang ngerjain skripsi, Abu selalu di dekatku. Dia duduk manis di meja, atau di pojokan kasur, tidak pernah jauh. Kadang aku berpikir, mungkin dia lebih tahu aku daripada diriku sendiri.
Saat pandemi datang dan semua terasa menakutkan, Abu menjadi sumber ketenangan. Waktu itu papahku sakit dan banyak ketidakpastian yang membuat kami cemas. Tapi Abu tetap ada. Dia nggak pergi, dia setia di rumah, dan dia seakan jadi pengingat kecil bahwa harapan itu masih ada. Bahwa hidup masih bisa dinikmati dengan sederhana—dengan kehadiran mereka yang tulus dan setia.
Abu adalah kucing yang sangat mandiri. Tapi di sisi lain, dia juga penuh kasih sayang. Dia tahu batas, tapi dia juga tahu kapan harus hadir. Bahkan saat dia sakit pun, dia tidak pernah menunjukkan kesakitan dengan berlebihan. Seolah dia tidak ingin kami khawatir. Tapi karena kami sudah sangat sayang, kami bawa dia ke dokter hewan.
Hari-hari terakhir bersama Abu adalah hari-hari yang berat. Dia dirawat selama tiga hari. Kami berharap dia bisa sembuh dan kembali ke rumah, duduk lagi di tempat favoritnya, atau mengusap-ngusap kakiku dengan kepalanya seperti biasa. Tapi Allah berkehendak lain. Abu dipanggil pulang.
Saat mendengar kabar itu, hatiku seperti runtuh. Rasanya bagian dari hidupku ikut hilang. Ada kekosongan yang tidak bisa dijelaskan. Rumah terasa sepi. Meja tempat dia duduk, sudut kamar tempat dia tidur, semuanya mengingatkanku padanya.
Tapi aku tahu, Abu sudah tidak sakit lagi. Dia sudah bebas. Mungkin sekarang dia sedang berlarian di taman surga, mengejar kupu-kupu, bermain tanpa rasa sakit, tanpa beban. Mungkin dia juga sedang melihat ke arahku, berharap aku tidak terus bersedih.
Kenangan bersama Abu begitu banyak. Dari hal-hal kecil seperti dia mengeong minta makan, melompat ke pangkuanku saat aku lagi nonton, hingga hal-hal besar seperti menemani saat aku sedang stres atau kecewa. Dia tahu segalanya. Dia bahkan lebih pengertian dari banyak manusia yang pernah aku kenal.
Terkadang, aku merasa Abu datang di saat yang sangat tepat. Ketika aku butuh teman, dia ada. Ketika aku butuh pelukan, dia hadir. Dia bukan hanya hewan peliharaan, dia penyembuh luka. Dan kepergiannya, walau menyakitkan, juga mengajarkan aku satu hal: bahwa cinta yang tulus tidak akan pernah hilang, hanya berpindah bentuk.
Aku tulis ini bukan untuk membuat orang lain sedih. Tapi untuk mengenang. Untuk memastikan bahwa nama Abu tidak akan pernah hilang begitu saja. Untuk menunjukkan pada dunia bahwa seekor kucing kecil bisa memiliki dampak sebesar itu dalam hidup manusia.
Terima kasih Abu, karena sudah hadir. Terima kasih sudah menemani. Terima kasih sudah mencintaiku dan keluargaku dengan cara yang paling sederhana namun begitu dalam.
Sampai jumpa nanti, di tempat yang lebih indah.
Aku akan selalu mengingatmu, selalu mencintaimu, dan akan terus mengenangmu.
— Untuk Abu, dari kakakmu yang merindukanmu setiap hari.
Komentar
Posting Komentar