Problematika Manusia
Beberapa waktu lalu, aku melakukan dialog dengan seorang teman melalui salah satu aplikasi pesan singkat, membahas berbagai macam permasalah manusia.
Di malam hari yang dingin, disebuah kamar minim pencahayaan. Aku mencoba membalas pesannya, tanpa dugaan tiba-tiba pembahasan itu mengalir dengan sendirinya.
Sebuah notifikasi terdengar dari benda pipih diatas nakas dekat tempat tidur ku, aku membuka pesan yang dikirimnya lalu mulai membacanya.
"Bekerja itu melelahkan ya?" Katanya tiba-tiba.
Aku membacanya dalam hati sembari tersenyum. Jari kecil ku dengan lincahnya bermain diatas benda pipih yang saat ini sedang aku genggam, mencoba membalas pesannya.
"Yang namanya berkerja pasti melelahkan apapun profesinya." Kataku mencoba membenarkan.
Tak berapa lama kemudian sebuah notifikasi pesan muncul kembali, balasan darinya.
"Ya memang melelahkan, tapi menurutku rasa lelah itu terbagi menjadi 2. Ada yang benar-benar melelahkan dan ada yang standar-standar saja, masih dibatas wajar." Katanya seperti itu.
Jika boleh jujur sebenarnya aku sudah malas membahas permasalah manusia, karena menurutku tidak akan pernah ada habisnya. Tapi tidak mungkin jika aku tiba-tiba mengubah topik yang sendari tadi sedang dibahas, aku belajar menghargai seseorang.
"Bekerja itu memang melelah kan, tapi kamu tau? melelahkan bukan hanya soal fisik, tapi mental begitupun perasaan. Kita gaada yang tau mungkin orang lain terlihat baik-baik saja, tapi nyatanya tanpa sepengetahuan kita mereka menyimpan beribu lelah yang mereka rasakan tapi terpaksa untuk mereka sembunyikan." Balas ku, bukan untuk membandingkan tapi memang begitu lah yang aku lihat.
"Ya kamu benar. Begitu menyedihkan ya jika ada manusia yang mengalaminya, sudah lelah raga harus merasakan lelah jiwa juga." Katanya.
"Ahh kamu tak tau bahkan ada manusia yang mengalami semuanya, fisiknya hancur, mentalnya berantakan, bahkan perasaanya porak poranda. Tapi dengan hebatnya dia bisa menutupi itu semua, hanya kareka tak ingin menyusahkan orang lain." Kata ku sambil tersenyum getir.
"Aku pernah merasakan ada diposisi seperti itu saat bekerja." Katanya mungkin mencoba untuk berbagi cerita dengan ku.
"Rasanya sungguh menyakitkan, bukan? Ingin berhenti tapi seolah-olah ada yang menahan untuk tetap tinggal. Menarik paksa diri padahal otak dan hati saling beragumentasi. Sebenernya tidak masalah jika hanya dalam satu ruang. Tapi coba bayangkan jika kamu merasakan dalam segala lingkungan. Seperti, lingkungan perkerjaan, keluarga, pertemanan atau bahkan dalam suatu hubungan dengan seseorang?" Kataku coba bertanya padanya.
"Tak terbayang pasti sungguh berat rasanya. Apalagi jika harus berada dalam suatu pilihan." Katanya.
"Seberapa berantakan dia? seberapa banyak topeng yang harus dia gunakan untuk menutupi segalanya? seberapa banyak air mata yang harus dia tahan? seberapa banyak luka yang harus dia obati sendirian?" Aku kembali mengajukan beberapa pertanyaan padanya. Tapi balasanya membuat aku terdiam sejenak.
"Tunggu sebentar, apa kamu pernah mengalaminya?" Katanya seolah-olah curiga dan sedikit khawatir.
"Hah tidak, aku baik-baik saja. Hanya sedang mendeskripsikan seseorang didepan ku."
"Are you sure?" Tanyanya lagi seolah memastikan.
"Yaa." Balas ku singkat.
"Hebat orang itu kalau dia bisa melewati itu semua, karena aku tau ga semua orang bisa lewati itu." Katanya seolah-olah bangga.
Dengan perasaan sedikit sedih dan menertawakan diri sendiri aku membalas pesannya
"Ya dia memang hebat masih mampu bertahan dan berjuang hingga detik ini, bahkan untuk mengucapkan kata istirahat dan berhenti sejenak untuk dirinya sendiri saja ia tidak mampu." Kata ku sambil menatap nanar pantulan diriku dibalik sebuah cermin, sambil menahan air mata aku berkata.
"Kamu sungguh pembohong yang handal, penyamar ulung yang hebat, membuat orang tak sadar semenyedihkan apa dirimu."
Komentar
Posting Komentar