Pola Asuh, Kuasa, dan Luka yang Tak Terlihat; Anak Nggak Butuh Ditakuti, Mereka Butuh Dimengerti

Beberapa minggu lalu, aku nonton film "Pengepungan di Bukit Duri" bareng temen-temen dan mutusin buat rewatch lagi biar temen-temen ku yang belum nonton juga wajib nonton hahaha. Honestly, awalnya aku pikir ini cuma bakal jadi film aksi dengan bumbu sosial yang "sekadarnya" aja. Tapi ternyata, film ini tuh bukan cuma nendang dari sisi ketegangan, tapi juga bikin aku diem sejenak dan mikir, deep banget.

Jadi ceritanya tentang seorang guru pengganti yang masuk ke sekolah dengan murid-murid yang katanya "bermasalah". Tapi yang aku rasain justru sebaliknya—yang bermasalah tuh bukan anak-anaknya, tapi sistem yang ngebentuk mereka. You know what I mean? Film ini tuh kayak ngajak kita buka mata soal betapa kerasnya realitas yang dihadapi remaja zaman sekarang. Dan somehow, aku ngerasa ini relate banget sama kehidupan kita.

Kita tumbuh di lingkungan yang seringkali masih percaya kalau anak tuh harus patuh total sama yang lebih tua. Titik. Udah, nggak bisa debat. Kalau kamu ngomong beda, dianggap kurang ajar. Tapi pernah nggak sih kita mikir, apakah yang lebih tua itu selalu benar? Apakah mereka udah cukup jadi tempat yang aman buat anak-anak bersandar? Itu pertanyaan yang langsung muncul di kepala aku setelah nonton.

Aku jadi flashback ke masa kecil, ketika kita sering diminta nurut tanpa banyak tanya. Disuruh diem, disuruh jangan nangis, disuruh jangan marah. Emosi kita sebagai anak-anak tuh seringkali dimatikan pelan-pelan dengan alasan sopan santun. Tapi efeknya? Kita tumbuh bingung sama perasaan sendiri. Kita jadi takut speak up, karena dari kecil udah diajarin untuk nggak boleh berbeda pendapat.

Di film ini, para murid digambarkan liar, keras, brutal. Tapi jujur, aku nggak liat mereka sebagai penjahat. Aku liat mereka sebagai anak-anak yang lagi berjuang cari tempat untuk dipahami. Dan itu ngena banget. Mereka cuma pengen didengerin, bukan dihakimi. Dan di situ aku merasa, mungkin mereka itu gambaran banyak anak muda di luar sana, yang haus akan empati tapi malah dapat intimidasi.

Sosok guru pengganti di film itu bisa dibilang jadi titik balik. Dia hadir bukan untuk mengontrol, tapi untuk mengayomi. Nggak datang bawa aturan, tapi bawa pemahaman. Dan di situ aku mikir, gila ya… kadang kita terlalu sibuk bikin aturan, sampai lupa gimana caranya dengerin. We’re so obsessed with obedience, kita lupa bahwa anak-anak juga manusia, bukan robot yang harus selalu "yes, sir!" tanpa boleh punya suara.

Menurutku, film ini tuh sindiran keras banget buat orang dewasa. Termasuk kita yang mungkin sekarang udah mulai punya posisi sebagai guru, kakak, orang tua, atau pembuat keputusan. Kita nggak bisa terus-terusan nurunin pola asuh lama yang cuma ngasih tekanan tanpa ruang bicara. Karena kalau kayak gitu terus, yang ada generasi setelah kita bakal tumbuh penuh luka dan kebingungan.

Aku jadi kepikiran, perubahan itu harus mulai dari kita. Dari cara kita ngomong ke adik, dari cara kita dengerin curhat murid, dari cara kita ngajarin anak untuk berani berpendapat. It’s about being safe, not scary. Karena anak yang tumbuh dalam rasa aman akan lebih kuat daripada anak yang tumbuh karena ketakutan.

So yeah, bukan cuma film, Pengepungan di Bukit Duri adalah wake-up call. Film ini bikin aku sadar bahwa jadi dewasa bukan berarti jadi paling benar, tapi jadi paling siap untuk memahami. Dan kalau ada satu hal yang aku pelajari dari film ini, it’s this: jangan buru-buru menghakimi anak muda—mungkin mereka cuma belum pernah benar-benar didengarkan.

Dan kita, bisa mulai jadi pendengar itu hari ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Satu Dekade Bersama Abu

Angka pernikahan di Indonesia menurun drastis !!

Finding My Safe Place in a Noisy World